Selasa, 21 April 2009

The Stories Of Children

Secara umum bacaan anak-anak sekarang pasti tak lepas dari komik. Tak bisa dielakkan lagi, daftar buku terlaris anak pada jaringan toko buku terkemuka menunjukkan golongan buku komik seperti Crayon Shinchan, Yu Gi Oh!, Detektif Conan Special, New Kung Fu Boy, Samurai Deeper Kyo, Naruto, Baby Love, Gals, atau Cerita Spesial Doraemon selalu menjadi pilihan untuk dibeli. Selain buku komik Jepang tersebut, seri terjemahan dari Walt Disney-lah yang sering kali tampak di pasaran. Merebaklah tuduhan bahwa bacan-bacaan tersebut telah memelintir anak-anak bangsa hingga hanya memiliki segelintir nilai-nilai universal yang canggung dan kehilangan akar budayanya.
Benarkah??


Lalu di mana ya, buku bacaan anak karya anak pengarang dalam negeri??

What's The Problems??
Apakah dapat dijamin bahwa sastra tulisan anak benar-benar hasil kreativitas anak-anak, lahir dari keingintahuan mereka yang besar , ataukah perlu diragukan keorisinalitasannya? Entahlah ... hanya itu jawaban yang terbersit pada pikir saya ketika pertanyaan-pertanyaan tersebut menggelantung di otak. Walaupun banyak pakar yang menjamin bahwa karya sastra oleh anak adalah benar-benar hasil karya anak, dengan dibuktikanya hasil inkuirinya kepada penerbit yang menyatakan bahwa pihak penerbit hanya mengedit bahasanya semata, sedang esensi cerita tidak pernah diutak-atik. Tetapi banyak juga fakta empirik yang ada, bahwa anak-anak berbakat (saya bilang berbakat, karena harus diakui bahwa seorang bocah yang dapat menghasilkan sastra pastilah berbeda dengan anak seumurnya yang acuh pada bahasa dan asyik dengan dunia kebocahannya /dunia bermainnya) seperti itu hanyalah korban dari orang tua yang ambisius, mereka terus di dorong dan ditekan oleh orang tuanya untuk bisa menghasilkan sesuatu yang menjadi obsesi orang tuanya. Saya contohkan saja penyanyi cilik, mereka dipaksa punya bakat menyanyi. Kalau nada suaranya tidak pas maka orang tuanya akan memolesnya (dengan latihan setiap hari, les vokal, ds dan masalah suara akan selesai dan fix sebab studio rekaman siap ‘mengolahnya’. Beres.Tetapi, adalah bijak jika kita tidak langsung men-‘judge’ anak-anak polos tersebut sebagai mesin orangtuanya, karena bagaimanapun suatu praduga haruslah dikuatkan dengan fakta agar ia bisa dibuktikan kebenarannya. Anda tertarik membuktikannya? Saya tidak! Sebab kekhawatiran tersebut sangatlah tidak beralasan. Proses kreatif sebuah karya sastra adalah sebuah proses yang sangat unik. Sebuah karya sastra berangkat dari sebuah obsesi. Obsesi itulah yang tidak bisa dibendung oleh siapapun. Obsesi akan menabrak, melabrak dan mendobrak apa saja yang menghalanginya. Obsesi itu mendorong dan memfasilitasi lahirnya kreatifitas kesastraan, termasuk pada diri anak-anak. Itulah impuls unik yang tidak dimiliki oleh anak atau bahkan orang kebanyakan.Kita memang sering berada pada posisi antara percaya dan tidak percaya pada sebuah fenomena kreatif yang dilakukan oleh anak-anak. Apakah mungkin seorang anak usia tujuh tahun menghasilkan sebuah karya sastra? Novel apalagi! Sedangkan untuk berbicara saja kerap tidak terstruktur, apalagi menulis karya sastra yang prasyaratnya antara lain harus mempunyai nalar yang bagus dan logika berpikir yang runtut. Pertanyaan itu sah-sah saja, tetapi perlu diingat bahwa hal itu mungkin saja terjadi. Toh semua ada buktinya (anda bisa melihat dari melubernya karya sastra anak yang kini bertebaran di toko-toko buku, itu sedikit bukti nyata). Munculnya sastra anak oleh anak sangatlah menggembirakan. Hal ini paling tidak untuk mengimbangai sastra anak yang ditulis oleh orang dewasa. Kelebihan sastra anak oleh anak adalah orisinalitas cerita yang diangkat. Anak-anak mampu mengekspresikan duninya secara lebih lugas dan alami. Mereka tidak akan terseret arus besar tema sastra anak oleh penulis dewasa yang cenderung berjibaku dengan nilai-nilai moral dan budi pekerti. Anak-anak akan menulisnya polos dan lugu sesuai dengan karakter kebocahan mereka. Kemampuan anak usia tujuh tahun sampai sebelas tahun, sudah memungkinkan untuk melahirkan suatu karya sastra. Pada usia itu anak sudah mampu berpikir secara sistematik terhadap hal-hal atu objek yang konkret. Dia juga mampu mengonservasikan dan memecahkan masalahnya dengan penalaran sederhana. Yang lebih hebat lagi anak-anak itu sudah mampu memahami hukum persamaan, penggolongan, dan kebalikan dari sesuatu.Tak ayal lagi, meragukan kemampuan anak menulis agaknya perlu dihilangkan. Mereka sudah pantas dan wajar bila mampu melahirkan kreativitas kesastraan. Saya lebih mendukung dan setuju jika ada sebuah gerakan moratorium sastra anak, yakni memberi ruang yang seluas-luasnya kepada anak untuk berkarya di dunia sastra. Sebaliknya, ada semacam pengekangan diri dari sastrawan dewasa untuk tidak menulis sastra anak. Gerakan ini akan sangat kondusif bagi perkembangan sastra anak oleh anak. Gerakan moratorium sastra anak ini akan sangat kondusif bagi perkembangan sastra oleh anak. Sebagian kalangan mungkin tidak setuju dengan ide ini, namun dalam rentang waktu beberapa tahun ke depan, jikalau terealisasi, gerakan ini akan sangat bermanfaat bagi perkembangan sastra oleh anak. Sudah waktunya anak-anak Indonesia bangkit sejajar dengan teman-temannya di negeri seberang. Biarkan mereka terus berkarya dan mengembangkan potensi dirinya. Sebab saya yakin, bahwa sastra anak yang ditulis oleh anak akan digemari bukan saja oleh pembaca anak-anak, tetapi juga pembaca dewasa. Kalau melihat arusnya modernitas saat ini, sejak bocah, anak seolah dibiasakan lebih menggandrungi gelegak modernitas yang cenderung salah kaprah. Misalnya berupa hajat huru-hara yang semata menghambur-hamburkan duit daripada ‘mencangking’ sebuah buku dari toko buku atau kios loakan, atau sekedar meminjam dari perpustakaan. Agar dibilang gaul dan demi menjaga gengsi, tidak sedikit orang tua rela menguras isi kocek untuk memborong bermacam barang keperluan yang sering kurang bermanfaat bagi kecerdasan dan intelektualitas serta tumbuh kembang anak. Sedangkan untuk membeli satu buku cerita mereka perlu berpikir berulang-ulang, apalagi jika harganya ‘dianggap’ selangit. Ketika melampiaskan kesenangan sesaat, misalnya di tempat hiburan, mereka bisa betah berlama-lama menghabiskan seluruh waktu. Sedangkan duduk manis, sekedar untuk mendongengkan sebuah cerita kepada anak menjelang tidur, para orang tua merasa bokongnya sudah disunduki jarum (atau malah mereka yang tertidur, sedangkan anaknya masih terpekur –melihat orang tuanya sendiri yang mendengkur- he he he ). Begitulah budaya konsumerisme beraroma hedonistik lebih merusak dalam denyut kebanyakan orang kita ketimbang keinginan memasyarakatkan tradisi membaca. Tidaklah terlalu mengherankan jika peringkat melek huruf, minat baca anak-anak Indonesia statis di urutan buncit dibandingkan dengan tingkat sadar baca warga negara tetangga dekat saja, keadaan kita bisa dibilang kancrit (tertinggal). Seharusnya keprihatinan ini tidaklah dibiarkan berlarut-larut, sebab persoalan ini ikut menentukan perjalanan bangsa dalam menegakkan pancang bangunan peradaban masa depan. Anak-anak sejak dini akan memerdekan bangsa ini dari segala bentuk keterbelakangan dan ke (pem-) bodohan. Walaupun sampai sekarang, langkah yang ditempuh untuk mendongkrak minat baca anak-anak dan masyarakat pada umumnya seakan selalu menemukan jalan buntu alias hanya jalan ditempat. Dan kiranya, sikap prihatin belum cukup dinilai sebagai solusi cespleng tanpa tindakan konkret untuk membenahinya.Saya disini mengajak para dewasa, khususnya orang tua untuk berpikir menerawang ke depan. Marilah kita kaji bersama:Jika ditelisik persoalan minat baca di kalangan masyarakat kita kadang memang berkelindan dengan banyak hal yang membuat penguraian ujung pangkalnya tampak njlimet (rumit). Bisa bermula karena faktor artifisial seperti mahalnya bandrol buku di pasaran, empati mencerdaskan bangsa ini yang kian mati rasa, hingga akibat wabah ‘flu’ mentalitas yang rada serius. Ditambah lagi akar pemahaman yang plin-plan dalam memaknai buku dan tradisi baca terus tersebut di benak para generasi ke generasi masa kini. Sebaiknya memang haruslah dibuang jauh-jauh tentang gosip tidak sedap tentang pencinta buku atau orang yang kecanduan membaca. Sudah tidak bijak lagi mendefinisikan ‘kutu buku’ dengan penampilan asketik, berkacamata tebal, kuper dan lain-lain. Julukan seperti itu kesannya kalah nyentrik dengan ‘bintang porno’, ‘ratu ekstasi’, ‘the king of corruptor’, dan sejenisnya. Sampai detik ini peminat baca dan buku belum pernah dijuluki ‘pangeran buku’ atau ‘puteri baca’ (he he he ), di sini mungkin sebagian orang jadi berpikir, apalah arti penting bergumul dalam aktivitas baca kalau keberadaannya hanya akan dipersamakan dengan ‘kutu’ (yang selalu menggugah keengganan dan mengusik kenyamanan orang lain, apalagi menuntun anak untuk menjadi seorang ‘kutu’.Fenomena tersebut salah satunya berpaut dengan kecenderungan manusia abad kini yang lebih mengedepankan ‘body oriented’, karena dilanda was-was cepat menua. Padahal obsesi memperlambat ketuaan bukan sebatas bergantung pada pemeliharaan performa ragawi, tetapi ditentukan pula dengan ketelatenan meremajakan jiwa. Yang salah satu caranya dengan membaca. Saya berpendapat demikian bukan tidak tanpa fakta, toh sebuah ‘LA TAHZAN’ karya penulis kenamaan Timur Tengah yang fenomenal diakui banyak masyarakat di Indonesia bahkan dunia internasional mampu menjadi oase ketenangan untuk penyejukan jiwa. Sepeti yang dikatakan Herbert N. Casson dalam bukunya ‘How to Live 80 Year’s Old’ bahwa selama orang tetap berpikir, belajar, mencintai sesama, dan memperhatikan segala sesuatu disekitarnya, ia tidak perlu khawatir jiwanya bakal tua. Sebab menjadi ‘tua’ adalah sebuah kepastian tetapi menjadi ‘dewasa’ adalah sebuah pilihan. Dan tentu kita tidak ingin jika tua nantinya hanya menjadi daging peot yang tidak harganya, kan?. Berbeda jika ‘ketuaan’ tersebut dibarengi dengan kedewasaan; kedewasaan melihat hidup, kedewasaan berpikir, kedewasaan beragama, dan lainnya. Tentunya anda sendiri yang bisa lebih merasakannya dan mendefinisikannya. Para dewasa, khususnya orang tua harusnya mulai berbenah terhadap minat mereka terhadap budaya baca. Harus mulai ditanamkan dalam diri bahwa membaca buku bukanlah aktivitas yang memerlukan keseriusan, berat dan menjenuhkan belaka. Justru membaca memberikan sensasi petualangan intelektualitas yang mengasyikkan. Saya sendiri berharap besar. Walaupun secara fisik, buku tidak lebih dari tumpukan kertas yang dibubuhi huruf-huruf untuk merangkai kalimat utuh sebagai ‘anak rohani’ (mengutip Pram) dari penulisnya, ia (buku) mampu membangun pemikiran kita untuk mengubah eksistensi kemanusiaan kita. Dan adalah bijak jika kita menanamkan kepada anak-anak kita, bocah-bocah negeri ini untuk cinta baca, minat pada buku, yang pada akhirnya (jika tidak sekarang, mungkin nanti) dengannya (buku) mereka para anak yang merangkak menuju dewasa mampu membuka pikirannya akan sebuah pilihan dan menjadikannya pijakan untuk merintis jalan memahami ‘dunia’ dan ‘melek’ untuk memetakan realitas. Dan ini tergantung anda, sebagai para pendidik dan orang tua!

Contoh sajak karya anak:
aku dan teman-temanku..
ketika bermain bersama ayah dan mama serta teman-teman mereka.....
aku dapet banyak teman juga lho!!
jadi sekarang kalo mama & ayah bermain bersama teman-temannya aku juga ikut bermain bersama teman-temanku. Soalnya anak teman-teman mama adalah temanku!!
By: neeta_zobo

Bagaimana Solusiny??

Sastra anak di Indonesia selama ini dianggap ‘bawang kosong’ semata, sebagai ‘bagian kecil’ dari sastra Indonesia. Ia seolah ‘sastra dewasa yang dianggap kecil’, sastra anak sebagai anak sastra. Sementara, sastra Indonesia yang kentara angker menjadikan dirinya eksklusif dan makin menjauh dari ruang kebutuhan. Demikian pula sastra anak, yang seharusnya berada dalam keberterimaan, ia tidak diajarkan sesuai dengan perkembangan anak yang semestinya dulce et utile (Horatius), yaitu yang menyenangkan dan memberikan pencerahan. Artinya, sastra bagi anak sebenarnya adalah batu loncatan agar mereka terbiasa membaca sehingga ia selanjutnya tidak gagap ketika membaca buku-buku lain di luar buku sastra, tidak kaget dan gumun ketika mendapati dunia begitu gegap.
Maka dalam kondisi menyenangkan dan tercerahkan, anak akan tumbuh menjadi manusia merdeka yang memungkinkan adanya proses tumbuhnya kekuatan dan integrasi, penguasaan terhadap alam, akal budi, dan tumbuhnya solidaritas terhadap orang lain. Jadi wajar jikalau seorang guru bertanya tentang bagaimana sebenarnya pengajaran sastra kepada anak sebab selama ini pendidikan kita berada dalam kegagalan. Pendidikan sudah seharusnya merupakan proses yang fungsional, bukan suatu kegiatan teknis mengajarkan kebahasaan, pesan-pesan mekanis, apalagi muatan kepentingan. Nah, artinya dalam kondisi ‘angker’ tersebut hak-hak anak terampas oleh kepongahan orangtua sehingga mereka mengalami ‘takut aksara’, tidak bisa menemukan dirinya, sehingga tidak paham bagaimana menuliskan sejarahnya.
Dunia anak-anak tentu sewarna dengan pengalaman dan pengetahuan mereka yang belum menumpuk sehingga masih diperlukan mediasi untuk mengembangkan daya kreatifnya (Nurgiyantoro). Maka yang paling penting dalam hal ini adalah pemenuhan hak anak. Hal yang dimaksud adalah proses belajar, menjadi individu yang subjektif, perkembangan pengalaman dan pengetahuan, yang semuanya berada dalam bingkai dunia anak. Membaca dan menulis misalnya, merupakan hak anak sebab di sana terdapat adanya ‘proses menjadi diri sendiri secara utuh’, bukan senjadi seperti gurunya, seperti orantuanya, atau seperti orang lain.